1000 Lampion Diterbangkan, Wujud Kebersamaan Warga Cina dan Jawa

Indonesia Tanah Airku, Tanah Tumpah Darahku, Disanalah Aku Berdiri …

Lirik lagu Indonesia Raya terdengar membahana di areal Benteng Vasternburg dalam acara penutupan Solo Imlek Festival 2014. Suara-suara yang diserukan ribuan warga Solo yang beragam suku,dan agama saat membawakan lagu kebangsaan ini merupakan bukti kebersamaan yang kokoh yang ada di kota Solo.

Walikota Solo, FX Hadi Rudyatmo usai memimpin jalannya nyanyian lagu kebangsaan tersebut, pun selanjutnya dengan lantang mendoakan untuk seluruh warga Solo, dimana kedepan segala perjuangan untuk menjadikan warganya waras, wareg, wasis, mapan dan papan serta damai terlindungi dari segala malapetaka dapat terwujud.

Setelah itu, dengan membawa lampion berwarna merah, Walikota yang akrab disapa Rudy itu pun segera turun dari panggung untuk selanjutnya mengawali prosesi menerbangkan 1000 lampion api. Selanjutnya giliran 1000 warga Solo lainnya menerbangkan lampion tersebut yang diyakini mampu membawa impian dan harapan si penerbang lampion menjadi nyata.

“Tahun depan ini akan kami jadikan kalender even. Harapannya untuk tahun depan, semakin banyak masyarakat Solo, disekitar Solo, maupun se Nusantara yang mengunjungi even ini.  Yang jelas acara ini dengan dihadiri ribuan warga Solo yang berbeda suku dan agamanya, menunjukkan kebersamaan dan ketereratan warga Solo satu dengan yang lainnya,” ungkap Rudy.

Sementara itu Ketua Panitia Imlek Bersama 2014, Tanu Kismanto mengatakan dalam menyelenggarakan acara ini, pihaknya sudah menyiapkan 1000 lampion. Jika masyarakat mau menerbangkannya bisa membeli lampion yang dijual seharga Rp20.000. “Ini baru pertama kalinya, jadi kami ingin secure dan tidak terjadi masalah. Disini kami sebagai antisipasi kami menyiapkan pemadam kebakaran juga,” jelasnya.

Ia mengatakan upacara penerbangan lampion merupakan bagian tradisi pesta lampion di negeri China. Ia menceritakan pada 200 tahun sebelum masehi, tepatnya pada dinasti Han saat musim tanam ada pesta lampion, dimana ribuan masyarakat membawa lampion ke ladang untuk memburu tikus dan hama. “Selanjutnya ini dikenal sebagai tolak bala dan kemudian berkembang lagi dengan menerbangkan lampion, warga bisa make a wish,” katanya.

Yogi, mahasiswi UNS pun tak mau ketinggalan berpartisipasi dalam kemeriahan lampion terbang ini. Dengan spidol bertinta hitam ia lantas menorehkan sejumlah kalimatan harapan pada lampion hijau pilihannya. Ia menyebut harapan ini sebagai resolusi tahun baru. “Sehat jasmani rohani, dompeti (banyak rejeki), jadi anak baik, bahagia sama Tumook,” sebutnya.

Sama halnya dengan Ferry Chandra, yang datang ke SIF 2014 bersama dengan teman-temannya pun tampak antusias dengan membeli 21 lampion terbang. “Ini pertama kalinya kita ikut penyalaan lampion terbang seperti ini. Just for fun-lah. Kita ingin memeriahkan acara ini,” ungkapnya.

Sementara itu, Irma Subagyo, warga Surabaya, berharap bahwa dengan menerbangkan lampion tersebut di tahun kuda kayu yang sama dengan shionya, harapan untuk pekerjaan, kesehatan, dan keluarga yang semakin baik pun dapat terwujud. “Tapi itu semua harus diiringi usaha yang nyata juga,” tandasnya.

Makna lainnya, melalui kemeriahan penerbangan lampion ini, Lioe Lie Yen, merasa persatuan etnis Jawa dan Thionghoa sungguh ketara. “Acara ini sungguh memperlihatan bagaimana kesatuan etnis Jawa dan Thionghoa. Semua mau berkumpul penuh sesak disini untuk saling mengenal. Khususnya yang bukan Thionghoa juga ternyata ikut senang menyambut kemeriahan imlek. Apalagi acara yang bisa menyatukan seperti ini kan jarang dan SIF 2014 baru pertama kali di Solo,” jelasnya

Tinggalkan komentar